25 Desember 2008

MISS UNIVERSE DAN EKSPLOITASI PEREMPUAN DALAM MEDIA MASSA

Miss Universe adalah sebuah ajang kontes kecantikan ratu sejagat yang diadakan setiap satu tahun sekali, ajang tersebut menampilkan sejumlah perempuan dari beberapa negara yang akan merebutkan sebuah makota yang mengindikasikan bahwa yang terpilih mempunyai apa yang sebenarnya/seharusnya dimiliki oleh seorang perempuan, yaitu Brain, Beauty, Behaviour, dan Brave.

Dengan diadakan ajang tersebut, perempuan dapat lebih menonjolkan kepiawaiannya dalam menata diri, kecerdasan dan tingkah lakunya yang menggambarkan bagi perempuan yang paling sempurna di bumi ini. Namun, dari semua kontestan tersebut hanya akan dipilih satu yang benar-benar terpilih sebagai ratu sejagat.

Brain, Beauty, Behaviour, dan Brave yang selanjutnya disebut dengan 4B, sebenarnya adalah sebuah ikatan atau sebutan saja bagi eksploitasi perempuan. Media sebagai penyalur informasi sangatlah pandai dalam memoles sebuah tayangan tersebut sehingga menarik dan memikat bagi pemirsanya.

Tentu saja, acara perhelatan “akbar” ini menarik jutaan bahkan milyaran pemirsa dari seluruh pelosok dunia untuk menyaksikannya. Bahkan media-media lokal pun – media dari masing-masing Negara peserta – akan mengekspose wakilnya secara besar-besaran. Media berusaha meng-cover agar wakil dari negaranya terlihat paling sempurna.

Tingkah laku, atau yang disebut sebagai kunci pembentukan perfect behaviour dalam ajang pemilihan ratu sejagat ini, juga merupakan kunci utama bagi perempuan untuk berhasil menyabet gelar tersebut. Dalam masa karantina, peserta akan dinilai tingkah lakunya oleh para dewan juri yang berkompeten didalam bidangnya.

Tidak tahu secara jelas, tingkah laku yang bagaimana yang dimaksudkan, apakah peserta yang paling ramah, ceria, santun, ataukah yang murah senyum. Namun, selain merebut ratu paling cantik sedunia mereka juga mengincar gelar Miss Congeniality atau yang sering diartikan Ratu Persahabatan atau Ratu Berperilaku Baik.

Perempuan dalam kontes pemilihan tersebut, mengindikasikan bahwa mereka hanyalah sebuah objek yang dikelola sedemikian rupa menjadi tayangan yang menghasilkan jutaan dolar bagi kaum kapitalis. Dengan tayangan tersebut, otomatis semua mata akan tertuju pada iklan-iklan yang disajikan.

Sebut saja iklan produk kecantikan, maka setiap mata perempuan yang menyaksikan tayangan tersebut akan mempunyai atau timbul paradigma mimpi bahwa menajadi perempuan yang cantik harus memakai produk-produk kecantikan tersebut.

Kelihaian media massa dalam menyampaikan acara ini, sehingga dampak yang ditimbulkan pun juga besar, nilai-nilai dan pandangan pro-kontra pun berdatangan. Ada yang menyebut acara tersebut hanyalah usaha menampilkan aurat perempuan, ada juga yang mengartikan untuk mengenalkan negara masing-masing peserta dimata internasional.

Televisi sebagai media paling merakyat pun tidak pernah ketinggalan dalam peliputanya, bahkan ada yang mulai dari masa karantina hingga malam puncak grandfinal. Namun, semua itu kembali kemasing-masing individu pemirsanya, bagaimana dia harus bisa memilah mana yang baik dan yang benar, itu akan membentuk bagaimana tingkah laku manusia modern yang sesungguhnya namun tanpa ketinggalan informasi.

Di pihak media massa pun tentunya harus begitu pula, misalnya di Indonesia sendiri, etika bermediapun harus juga ditanamkan. Ketidaktahuan dan kesalahan penafsiran terhadap kebudayaan dan kebiasaan saja menjadi awal dan pemicu konflik yang sangat besar. Bisa saja acara ini merupakan budaya baru pada saat ini.

Televisi tentunya perlu diarahkan kepada “jalan yang benar” bukan malah menjadi komoditas produksi tanpa memikirkan efek yang ditimbulkan. Sehingga dapat dihasilkan tayangan yang sesuai dengan realitas yang ada, bukan sekedar mimpi belaka bagi pemirsanya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar